Kamis, 23 April 2020

Allah, Siapa Jodohku? (1)

•••Part 1•••

   "Iya, bentar lagi aku ke sana. Berisik banget sih kamu, ya ampun."


    Lathifah memutuskan panggilan telepon dengan kesal.


  "Dasar cowok gak sabaran!" gerutunya sambil mengibaskan rambut. Balita perempuan berumur tiga belas bulan yang ada dalam gendongannya mengedipkan kedua matanya lucu sambil menarik-narik dress Lathifah dengan gemas.


    Dengan tergesa-gesa Lathifah menghampiri kakak iparnya yang bersandar lemas pada sofa. Sepertinya masih menunggu Keenan, kakak kandung Lathifah.


    "Kak Wafa, aku ada urusan. Ini Shafa-nya," ujarnya berniat menyerahkan keponakannya.


    Ketika Wafa menyodorkan tangan, Shafa malah menangis kencang sambil menarik-narik rambut Lathifah, tidak ingin dilepaskan. "Tyty!"


    "Aw!" pekik Lathifah kaget dengan gerakan Shafa yang tiba-tiba.


   "Sayang, kok kamu nakal?"


   Lathifah meringis sesaat, kemudian mengusap-usap pipi Shafa dengan lembut. "Ssshhtt ... Cup ... Cup. Shafa jangan nangis, nanti Aunty ke sini lagi kok. Sekarang sama Ummi ya?"


   Bukannya luluh, Shafa malah semakin meraung dan bergerak-gerak tak keruan dalam gendongan Lathifah. Lathifah bingung menghentikan tangis Shafa. Sebenarnya ia juga tak tega melihat kondisi Wafa. Sejak kemarin kakak iparnya itu mual-mual. Pekerjaan rumah juga dikerjakan sendiri. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini. Ia memejamkan matanya sejenak, sudah bisa dipastikan kekasihnya akan lebih marah jika ia semakin lama di sini.


    "Ayo, Sayang sini. Kamu sama Ummi ya?" bujuk Wafa. Ia merasa tak enak karena sepertinya Lathifah ada urusan. Lagi-lagi Shafa menangis, bahkan lebih histeris. Dia menarik-narik kerudung mungil yang terpasang di kepalanya dengan gregetan.


   "Assalamu'alaikum," ucap Keenan yang baru membuka pintu utama. Perhatian mereka kini tertuju pada Keenan, kecuali Shafa tentunya.


   "Wa'alaikumussalam," jawab mereka berdua kompak.


   Kening Keenan mengernyit melihat anaknya yang menangis dalam gendongan Lathifah. Ia berjalan mendekat dan mengambil sapu tangan di saku jasnya untuk menghapus air mata Shafa yang telah menyatu dengan air liurnya sendiri. Tatapannya beralih pada adik perempuannya. "Ya Allah, Dek. Kamu apain ponakan kamu sampai nangis begitu?"


   Wafa menghampirinya dengan wajah yang pucat. Ia memegang pergelangan tangan suaminya lembut, "Mas, adik kamu ada urusan. Tapi Shafa gak mau dibujuk sama aku. Dia pengen terus sama Lala. Coba kamu yang bujuk."


   Keenan mengelus punggung tangan istrinya pelan, tak lupa senyum tipis yang menghiasi wajahnya. "Iya, Sayang."


   Lathifah jadi merasa gerah sendiri melihat kemesraan keduanya. Ia berdehem agak keras. Wafa melepas genggamannya perlahan, sedangkan Keenan tetap bersikap santai. Niatnya untuk membujuk Shafa menguap ketika meneliti penampilan Lathifah dari atas ke bawah.


   "Urusan apa sih La? Kamu ngapain pake baju kurang bahan begitu? Astagfirullah, lihat itu aurat kamu ke mana-mana!" tunjuknya pada lengan dan betis Lala yang terekspose.


   "Apaan sih Kak? Ini gak terlalu terbuka kok. Aku udah ditungguin sama temen aku."


   Keenan menggeleng pelan, mulutnya berdecak. Entah harus bagaimana lagi menasihati adik perempuannya ini agar tidak mengumbar aurat. Ia hanya ingin adiknya itu sadar akan kewajibannya sebagai seorang muslimah.


  "Ganti baju Lathifah!" perintah Keenan dengan mata menajam.


   "Gak mau. Aku udah telat, ini Shafanya."


   Shafa mencakar muka Lathifah yang menyodorkannya lagi.


   Wafa menggaruk kepalanya yang terlapisi hijab. Ia semakin khawatir. "Mas, gimana?"
 

   Mimik wajah Keenan melunak, ia melembutkan nada bicaranya. "Kamu gak bisa tunda urusan kamu dulu? Shafa susah dibujuk kalau udah gitu."


   "Gak bisa, Kak. Aku udah janji dan sekarang dia lagi nunggu."


   Keenan mengusap rambutnya kasar. "Ya udah kamu bawa aja Shafa," saran Keenan.
 

   "Apa? Yang bener aja, Kak! Nanti malah aku yang dikira punya anak."


   "Terus kamu mau aku paksa dia? Aku nggak tega lihat dia nangis begitu."


   Dengan wajah memberengut Lathifah akhirnya menyerah. "Oke! Aku bawa Shafa."


   "Ya udah. Kakak juga mau keluar. Mending kamu ganti baju dulu, seenggaknya yang lebih sopan."


   Tanpa memedulikan ucapan kakaknya, Lathifah mengambil tas nya dan berjalan ke luar. "Aku duluan. Assalammu'alaikum."


°°°°

   Lathifah membuka pintu mobil yang baru berhenti tepat di depannya. Mobil itu memang tadi berhenti beberapa meter dari rumah Keenan. Lathifah yang melarangnya untuk mampir. Dia belum siap kakaknya mengetahui hubungannya. Bisa-bisa panas telinganya mendengar ceramahan kakaknya yang panjang kali lebar sama dengan luas. Bagi Lathifah, kakaknya itu terlalu kolot, religius, tidak akan membiarkannya pacaran.


   Lelaki yang duduk di belakang kemudi itu mengalihkan tatapannya pada kekasihnya. "Kamu gak salah bawa anak kecil?"


   "Mau gimana lagi? Dia nangis minta ikut. Lagian kak Keenan sama kak Wafa juga mau ke dokter."


   "Dokter?"


   Lathifah menganggukan kepalanya. "Iya. Kak Wafa kayaknya hamil lagi deh. Udah ah, mending langsung berangkat aja. Kamu cowok-cowok suka banget ngegosip."


   Jodi menghembuskan nafas berat. Ia menoleh lagi ke arah Lathifah dengan rasa geram yang ditahan. "Siapa yang ngegosip?"


  "Kamu!"


  "Aku cuma nanya, La."


  "Lagian kepo banget sih kamu. Bisa-bisa nanti tetangga lahiran ditanyain gimana cara ngelahirinnya! Jangan dibiasain kepo gitu."


   Jodi geleng-geleng kepala. Pemikiran Lathifah memang sudah parah. Tidak bisa di reparasi. Ia harus banyak bersabar.


   "Mending kita berangkat aja."


   "Kan tadi aku juga bilang gitu! Susah ya ngomong sama kamu, agak lemot."


   Jodi mulai mengemudikan mobilnya pasrah. Gagal total rencananya untuk romantis-romantisan bersama Sang kekasih. Pertama karena ponakan Lathifah, kedua karena gadis itu membuat mood-nya buruk seketika.


   "Mau ke mana?" tanya Jodi memecah keheningan. Ia melihat Lathifah sedang memberbaiki posisi Shafa yang mulai terlelap.


  "Makan aja gimana? Aku laper."


  "Oke."


  Lathifah menegakkan tubuhnya. Ia menatap Jodi dengan mata memicing. "Kamu marah karena aku bawa Shafa?"


  "Nggak."


  "Bohong!"


  "Aku nggak marah, Sayang."


  "Terus itu kenapa muka kamu cemberut gitu? Kayak orang kesel, deh."


  "Emang aku lagi kesel."

  "Kesel sama siapa?"


  "Cewek aku."


  Mata Lathifah melotot. "Kamu punya cewek selain aku?!" suaranya yang nyaring membuat Shafa tersentak. Gadis mungil itu terbangun dan menangis.


   Dengan sabar Jodi mengulurkan tangannya. Ia mengusap rambut Lathifah. "Cuma kamu, Sayang." 


  "Tau ah! Kamu sih mancing emosi. Lihat tuh, Shafa jadi nangis."


   Jodi menurunkan tangannya dan memutar bola matanya. "Kita balik lagi aja ya? Anterin Shafa."


  "Shafa tadi nangis pas aku mau pergi. Biarin aja kenapa sih? Kok jadi kamu yang bawel, padahal kan yang bayi itu Shafa."


   "Itung-itung latihan juga jadi orangtua," lanjut Lathifah dengan suara pelan.


   "Boro-boro jadi orangtua, mau ke rumahnya aja minta restu dilarang terus," gumam Jodi.


   Lathifah tak mengiraukan ucapan Jodi yang tidak terlalu jelas terdengar. Dia memilih mengecek ponselnya yang bergetar. Ada satu pesan dari kakaknya.


Kakeen bawel: Jangan ke tempat macem-macem, inget kamu lagi bawa Shafa.


   Lathifah mendelik sinis, ia punya perasaan kali. Lagian macam-macam gimana maksudnya? Dia biasanya juga cuma satu macam.


   Sesampai di restoran, Lathifah dan Jodi memilih kursi dekat jendela. Mereka sudah memesan makanan beberapa menit lalu. Tapi perut Lathifah tiba-tiba mulas. Ia menatap Shafa yang sekarang memainkan gantungan kunci boneka milik Jodi.


   "Jo," panggil Lathifah pelan. Saat Jodi menengok, gadis itu menampilkan puppy eyes-nya.


   "Kenapa kamu matanya? Kelilipan?" suara berat Jodi terdengar menyindir.


   Lathifah berdiri. Ia mendudukkan Shafa dalam pangkuan Jodi yang shock.


   "Aku titip Shafa. Udah gak tahan mau ke toilet."


   "Tapi ...."


   "Bentar doang kok, mules banget."


   "Sayang!"


   Terlambat.


Lathifah sudah berjalan menuju toilet. Meninggalkannya berdua dengan balita yang membuat kencannya berantakan. Ia mengerang kesal sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Tangannya masih memegang Shafa dengan kaku.


   Entah seberapa mulas Lathifah. Yang jelas menit telah berlalu begitu cepat, Jodi sudah mulai lelah. Shafa ternyata begitu nakal. Ia menarik-narik kancing kemeja Jodi sekuat tenaga.


   "Hey, jangan ditarik Shafa!"

   Jodi kelepasan menarik tangan Shafa. Tak kasar, tapi cukup untuk membuat anak itu menangis.

   Lathifah yang baru datang terkejut. "Kamu apain Shafa?! Siniin dia!"


   Tepat ketika Shafa diangkat, air kencing Shafa mengucur, membasahi celana kain Jodi.


   Lathifah menganga tak percaya. Jangan tanya ekspresi Shafa. Dia malah tertawa tanpa sebab.


  "Jodi aku ...."


  "Kita pulang sekarang Lathifah!" ucap Jodi dengan suara berat dan dingin. Kentara sekali lelaki itu sekarang menahan amarah.
 

   "Jodi, Tunggu! Makanannya bungkus aja, sayang uangnya. Hey!"


°°°°

Minggu, 19 April 2020

[CERBUNG] Allah, Siapa Jodohku?

 •••PROLOG•••


  "Sejak kapan?" tanyanya dengan suara yang sangat pelan.


  Lelaki di hadapannya kini mendongakkan wajah, menampakkan raut penyesalan. Ia berniat menggenggam tangan kekasihnya, tapi segera ditepis.


   "Aku tanya sejak kapan, hah?!"
 
   Mata gadis itu menatapnya tajam. Bagaikan elang yang siap memangsa. Laki-laki itu tahu Lathifah sangat marah, kecewa, dan terluka. Dia pasti merasa dicurangi, dihianati.


   "Satu tahun lalu," cicitnya. Bahkan untuk menelan salivanya sendiri saja rasanya sulit. Habislah sudah riwayatnya!


   Wajah Lathifah memerah. Satu tahun? Jadi selama setahun ini kekasih yang selalu ia banggakan ternyata bermain api di belakangnya?


   Lathifah menggeleng kuat. Ia menutupi wajahnya yang penuh dengan keringat dan air mata. Hatinya bertanya-tanya apa yang Tuhan rencanakan untuk hidupnya. Kenapa takdir terus mempermainkannya?


   Gadis itu merasa kisah cintanya tak pernah langgeng seperti teman-temannya. Haruskah ia memakai formalin biar awet? Atau borax saja yang sedang marak diperbincangkan? Ah, kenapa pemikirannya menjadi konyol seperti pedagang kaki lima yang berencana mengawetkan makanan dengan jalan yang salah. Hidup ini tidak melulu soal cinta. Tapi... Lathifah butuh lelaki yang mencintainya dengan tulus!


   "Aku bisa jelasin semuanya, Sayang. Aku minta maaf," ucap lelaki itu sambil menghapus bulir air mata yang terjatuh di pipi Lathifah.


   "Gak perlu!" sentak Lathifah.


   "Aku harus apa biar kamu maafin aku? Aku punya alasan ngelakuin itu."


   Lathifah melengos. Isakannya masih terdengar. Perlu digaris bawahi mereka berdua masih di restoran. Beberapa pasang mata juga menatap mereka penuh keingintahuan. Ada juga yang memberi tatapan intimidasi pada Si lelaki.


   "Kamu ... Hiks .... Pokoknya aku gak mau dengar apapun lagi. Kita putus!"


   "La, jangan main-main. Kita masih bisa perbaiki hubungan ini. Kita ....."


   "Cukup!" potong Lathifah cepat.


   "Tapi aku belum ...."


    "Aku bilang cukup, ya, cukup! Kamu gak denger? Jarang dibersihin ya itu telinga pake cotton buds?" semburnya dengan mata mengilatkan kemarahan.


    Lawan bicanya mengatupkan bibir rapat-rapat.


   "Sekarang beliin aku tisu! Aku malu pulang dengan make up berantakan, aku juga malu ke minimarket. Biasanya aku bawa tisu, tapi hari ini enggak. Ini semua gara-gara kamu! Mau bilang apa nanti aku sama Mama?"


   "Tisu?" beonya dengan mata mengerjap-ngerjap tak percaya. Setelah memutuskan hubungan dan tidak mau mendengarkan alasannya melakukan semua ini, sekarang perempuan di hadapannya minta dibelikan tisu? Benar-benar!


   "Cepat, ih! Kamu gak malu hah dari tadi jadi tontonan gratis? Kamu mau dikatain cowok gak berperasaan karena ngebiarin aku kayak gini, iya?!" semprot Lathifah lagi sambil mengalihkan pandangan. Ia gemas melihat lelaki ini malah memandangnya seperti orang bodoh.


   Dengan penuh kesabaran lelaki itu mengangguk dan mengulurkan tangannya.


   "Apa?! Mau minta uang? Gila kamu!0 Beli tisu aja perhitungan banget! Lima ribu juga masih dikasih kembalian, masa gak bisa beliin ... Hiks ... Hiks ...."


   Sabar, sabar.


  "Bukan, La. Aku mau beliin tisu, tapi kamu ikut aku ya? Nanti di mobil aku aja kamu benerin penampilan kamu."


    Lathifah menatap penampilannya dari bawah sampai ke kemeja yang dikenakannya.


   "Maksud kamu apa? Memang kenapa dengan penampilan aku? Kaya gembel?" omelnya tak henti-henti.


   Nah, kan salah lagi!


   "Ya udah, iya! Aku beliin. Kamu di sini aja. Mau gelesotan di lantai, teriak yang keras juga aku gak peduli. Nanti tinggal bilang aku gak kenal kamu!" ujarnya kesal sambil berlalu pergi.


   Belum mencapai pintu keluar, Lathifah memanggil lelaki itu.


   "Jo!"


  Dengan sisa kesabaran ia menoleh, memaksakan senyumnya. "Apalagi Lathifah Husna Salsabila?"


  "Kamu belum bayar makanan kamu sama selingkuhan kamu! Masa aku yang bayar?! Gak tau malu ya kamu udah jadi mantan masih minta dibayarin!  Bayar dulu sana, aku tunggu di depan!"


    Lathifah keluar restoran duluan dengan misuh-misuh, melewati mantan kekasihnya yang menahan ledakan di dadanya. Kalau bukan Lathifah yang bersikap seperti itu sudah ia cekik detik ini juga.


°°°°

Salam kenal untuk kalian reader's Sudut Nostalgia. Selamat menikmati karya pertama aku di blog ini. Semoga suka dan sabar menunggu kelanjutannya.